Aah, Cuma Tahu Mengkritik Doang: Kritik Atas Anti-Kritik

 

Oleh: Moh. Syurul

Ada kalimat yang terdengar enteng namun sarat makna ketika dilontarkan dalam sebuah forum dan semacamnya, "Cuma tahu mengkritik doang” Kalimat ini seolah menempatkan kritik sebagai tindakan yang remeh, tak produktif, bahkan menyebalkan. Namun, di balik kesederhanaan ucapan itu, tersimpan sebuah ironi besar tentang bagaimana sebagian manusia gagal memahami nilai luhur dari berpikir kritis, nilai yang justru menjadi fondasi peradaban, demokrasi dan kemajuan ilmu pengetahuan.


Dalam sejarah peradaban, setiap langkah besar kerap dimulai dari suara kecil yang menggugat kelaziman. Kritik bukan sekadar aktivitas lisan tanpa kontribusi, melainkan tanda bahwa masih ada yang berpikir, masih ada yang peduli. Ketika kita tidak memiliki akses pada wewenang, ketika tangan kita tak sampai menjangkau palu keputusan, maka satu-satunya alat yang kita punya dan tidak bisa dirampas ialah akal yang tajam dan lidah yang berani bertanya.


Mengkritik bukan berarti ingin mengambil alih. Justru sebaliknya, ini adalah bentuk kesadaran posisi, kita tahu bahwa kita tidak punya kekuasaan, tapi kita punya kesadaran, dan itu cukup untuk bertanya, menguji, bahkan menggugat. Karena jika semua hanya boleh bicara ketika memegang kuasa, maka keadilan akan menjadi milik segelintir. Oleh karena itu, misal sebagai rakyat biasa, atau dalam konteks mahasiswa, mengkritik bukanlah pelarian, melainkan panggilan.


Berpikir kritis bukan tentang menyerang, melainkan bertahan, bertahan dari godaan untuk berhenti berpikir, untuk ikut arus tanpa bertanya, untuk menerima tanpa menggugat. Dalam dunia yang serba cepat, kita justru dibutuhkan untuk berpikir dalam.


Skeptisisme bukan tentang menolak semua hal, tetapi tentang tidak selalu menerima sesuatu begitu saja. Ini yang membuat manusia mampu membedakan mana yang masuk akal dan mana yang dangkal dan menyesatkan, bahkan jika disampaikan dengan sangat meyakinkan


Dan ini bukan soal menjadi sok tahu. Melainkan bentuk kejujuran intelektual yang tak mau tertipu oleh kemasan, yang memilih meraba makna di balik bahasa, menelisik motif di balik keputusan. Kita memang tidak selalu bisa memberi solusi. Tapi bukankah mengkritik dan mempertanyakan adalah langkah awal untuk menuju solusi yang lebih jernih dan kolektif?


Perbedaan pandangan bukan ancaman, melainkan jendela. Ketika ada perbedaan pandangan, itu bukanlah gejala disfungsi, justru itu bukti bahwa sistem masih hidup. Jika semua diam, sepakat, dan tunduk tanpa ruang diskusi, maka organisasi tak ubahnya kuburan ide.


Perbedaan pandangan sering kali dianggap sebagai ancaman atau sumber konflik, padahal justru di sanalah letak peluang besar untuk belajar dan berkembang. apabila diskusi kita hanya dengan orang yang selalu setuju, kita akan merasa nyaman, tapi mungkin tidak bertumbuh. Mereka yang mengkritik, sesungguhnya sedang menawarkan jendela, bukan tembok. Ia mempersilakan kita melihat dari sisi yang lain, memeriksa kembali keyakinan dan kebijakan yang mungkin terlanjur dianggap mutlak. Dalam dunia intelektual, itu bukan pembangkangan, melainkan pengayaan.


Apakah Harus Selalu Memberi Solusi? Sering kali, kritik dibungkam dengan kata “Jangan cuma mengkritik, mana solusinya?” Pertanyaan ini tampaknya logis, namun jika ditelaah lebih dalam, mengandung jebakan yang berbahaya, seolah menempatkan tanggung jawab perubahan hanya pada mereka yang bersuara, bukan pada mereka yang berwenang. Padahal dalam sistem yang sehat, pengkritik dan pengelola adalah dua entitas yang saling melengkapi. Kritik menciptakan peta masalah, dan pengelola memiliki instrumen untuk menavigasi solusinya.


Memaksa setiap kritik membawa solusi lengkap adalah bentuk pembungkaman terselubung, karena tidak semua orang punya akses, atau perangkat struktural untuk langsung mengeksekusi. Namun mereka tetap punya hak untuk mengingatkan, dan bahkan kewajiban moral untuk melakukannya.


Menjadi kritis bukan karena ingin berbeda, melainkan karena ingin bertanggung jawab. Tanggung jawab untuk menjaga akal sehat tetap waras di tengah arus wacana yang bisa saja menyesatkan. Menjadi pengkritik bukan berarti lebih hebat, tapi minimal, kita tidak menjadi penonton pasif dari keputusan-keputusan yang mengatur hidup kita


Dan jika merasa kritik ini belum cukup memberi solusi, mungkin ini saatnya Anda bertanya, Apakah Anda benar-benar siap untuk mendengarkan solusi? Jika iya, hubungi saya.


#Penulis Merupakan Kader HMI Komisariat Insan Cita Sekaligus Mahasiswa UIN Madura. 


Posting Komentar

0 Komentar