Saat Eksistensi Mengalahkan Esensi


Oleh: Moh Syurul

Di balik tembok-tembok ruang kolektif yang konon menjadi ladang pemikiran dan perjuangan, tumbuh paradoks yang menyakitkan, semangat hanya untuk terlihat seringkali mengalahkan keinginan untuk berdampak, dan ambisi dikenang, perlahan menggantikan kesadaran untuk berkontribusi.


Ada figur-figur yang muncul bukan karena kontribusinya, melainkan karena kepiawaiannya membaca momentum. Ia tidak membangun struktur, tidak merawat budaya, tidak menyuburkan wacana. Yang dibangun hanyalah narasi personal untuk pengakuan. Kapal besar menjadi sekadar kendaraan, bukan ruang kebermanfaatan. Tempat-tempat menjadi panggung, bukan ruang aktualisasi nilai.


Inilah penyakit laten yang merusak ekosistem, mentalitas menumpang nama. Ia hadir dalam forum-forum penting, muncul di barisan depan, tapi absen saat kerja nyata dimulai. Ia memelintir logika, menjadi etalase popularitas, seakan-akan dikenal lebih penting daripada berdampak. Seakan struktur hanya penting sejauh bisa menyokong nama terpampang di media dan spanduk.


Lebih ironis lagi, ditengah gairah aktivisme, kebermanfaatan seakan bergeser menjadi opsi, bukan prinsip. Seseorang dianggap mampu dan berhasil bukan karena idenya menggerakkan, melainkan karena sering tampil dan tampilannya memikat. Maka tak heran, kita melihat banyak pemimpin yang dikenal luas, namun tak meninggalkan warisan apa pun selain jejak dokumentasi digital.


Pertanyaannya, apa gunanya dikenal jika rumah yang ia tinggalkan tetap stagnan? Apa arti pengakuan jika tak ada sesuatu yang ditanam, tak ada perubahan yang dijalankan?


Kita tidak butuh tokoh kosmetik. Yang kita butuhkan adalah penggerak, pemikir yang tak sibuk mengukir nama sendiri, tapi mencetak jejak kolektif, tidak masalah bekerja dalam diam tapi menghasilkan dampak yang lantang. Tidak selalu mengukur keberhasilan dari tepuk tangan, tapi dari seberapa banyak generasi yang tercerahkan, berapa banyak wacana yang dihidupkan, dan berapa besar perubahan yang dimulai.


Sudah saatnya kita mereformasi cara memandang generasi dan pemimpinnya. Popularitas bukan parameter tunggal. Yang utama adalah substansi, kebermanfaatan, dan arah yang dibawa.


Karena pada akhirnya, sebuah kapal besar bukan tempat berlindung bagi ego, melainkan rumah bagi nilai dan perjuangan. Dan yang benar-benar besar bukanlah mereka yang dikenal semua orang, tapi mereka yang kehadirannya membuat semua orang menjadi lebih baik.


#Penulis Merupakan Kader HMI Komisariat Insan Cita Sekaligus Mahasiswa IAIN Madura. 


Posting Komentar

0 Komentar