Kembalikan NU & Muhammadiyah Pada Umat, Bukan Oligarki!

 

(@socialmovementinstitute)


Tidak ada satu pun di dunia ini yang kekal. Maka, ukirlah cerita indah sebagai kenangan. Karena dunia memang sebuah cerita. – (KH. Hasyim Asyari)

Orang Islam sejati adalah yang tetap berdiri pada tempat yang benar meskipun dunia dalam keadaan kacau. – (KH. Ahmad Dahlan)

 

Akhirnya Kedua Ormas (Organisasi Masyarakat) Ini Menerima Tawaran Mengurus Tambang

 

Yang satu katanya butuh uang dan satunya memutuskan setelah konsultasi dengan pengusaha tambang. Pertimbangan dangkal, pragmatis dan ironis. Tapi inilah sebuah petanda kalau ormas keagamaan kehilangan akar dan empatik pada ummatnya: yang miskin, lemah dan tak berdaya. Tapi inilah ‘cerminan’ kekuasaan tiranis yang ada dalam lingkar gerakan keagamaan kita. Apa tanda-tanda tirani?

 

A.     Dari Kesadaran “Wong Cilik” ke “Wong Kuasa”

Kekayaan telah memberi identitas baru pada elite keagamaan yang rasa percaya dirinya dibentuk pada ‘penampilan, penguasaan dan besarnya asset’ ketimbang ‘pengetahuan kesederhanaan dan kepedulian’. Akumulasi telah menciptakan lapisan elite keagamaan sebagai ‘wong KUASA’ ketimbang representasi ‘wong CILIK’.

 

B.     Menguatnya Elitisme

Elitisme membuat organisasi keagamaan kian menjauh dari alam berfikir umat apalagi kehidupan sehari-hari ummat. Keputusan untuk mengambil tambang tidak didasarkan atas kemaslahatan lingkungan tapi pertimbangan taktis elit: butuh uang dan perlu bisnis tambang. Kedua pernyataan itu hanya cermin bagaimana corak berfikir elite lebih mendominasi. 

C.      Tidak Paham Isu Lingkungan

Sulit dipercaya elite keagamaan tidak memahami bagaimana rusaknya lingkungan karena tambang. Informasi, data hingga tulisan mengenai itu berlimpah. Tapi elite keagamaan melihat kondisi lingkungan seperti para pengusaha tambang melihat cuan. Akibatnya sulit dibedakan mana pengusaha mana ulama. Karena punya pandangan yang sama tentang lingkungan.

D.     Hilangnya Kemandirian

Penerimaan pada tambang dengan alasan uang apalagi konsultasi pengusaha telah membuat ormas keagamaan kehilangan kemampuan untuk menjaga ‘jarak’. Riset membuktikan saat ulama tidak lagi memiliki jarak dengan kekuasaan dan modal maka itulah awal dari hancurnya ‘sumbangan’ peradaban dan nilai pada diri gerakan keagamaan. Tanpa jarak maka agama kehilangan daya kritis dan utopia yang mengilhami ummat untuk berbuat baik.

 

Sumber : @SocialMovementInstitute

 

Posting Komentar

0 Komentar