Oleh : Zaini Dahlan*
Musyawarah Mufakat Rute yang Tak Pernah Dikehendaki Peserta.
Kalau Selesai dengan Musyawarah Mufakat, Cukuplah Tuntaskan melalui RHP BPL PB Saja.
Musyawarah Nasional (Munas) Badan Pengelola Latihan (BPL) Pengurus Besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Semarang menorehkan catatan baru. Yakni penentuan kandidat terpilih hanya dengan musyawarah mufakat.
Tentu musyawarah mufakat ini menjadi barang baru di tiap-tiap kontestasi HMI. Terutama pemilihan ketua umum BPL PB HMI beberapa bulan lalu ini. Namanya barang baru, sudah pasti menuai kontroversi. Sebab yang terjadi di lokasi, tak seperti Munas sebelumnya.
Pada Munas ke VI di Palembang, ditetapkannya Achmad Surya Ramadhan karena menjadi kandidat dengan suara terbanyak pilihan peserta utusan yang memiliki hak suara dari tiap-tiap cabang se-indonesia.
Lalu, apakah semakin sakral ketika Munas BPL PB HMI diselesaikan dengan Musyawarah Mufakat? Tentu tidak. Sebab, hampir semua peserta utusan dan peninjau tidak memiliki kebebasan untuk menentukan kandidat yang layak menjadi orang nomor satu di BPL HMI.
Bahkan rumor yang beredar, jika pada ujungnya hak kemerdekaan memilih yang dimiliki para peserta utusan dilacuri, atau bahasa halusnya dengan musyawarah mufakat, maka cukuplah penentuan ketua umum BPL PB HMI diselesaikan di RHP BPL PB saja.
Hal demikian banyak disampaikan oleh para peserta utusan maupun peninjau yang hadir di lokasi. Karena kebebasan menentukan pilihan terbaiknya tidak tersampaikan. Pada akhirnya mereka menerima meski yang ditetapkan adalah orang di luar ekspektasinya.
Ping-Sut (Musyawarah Mufakat) Munas BPL PB HMI di Semarang
Mengingat penetapan hasil musyawarah mufakat pada Munas BPL PB HMI si Semarang bulan kemarin. Penulis teringat masa kecil. Dimana untuk menjadi pemenang diantara kawan-kawan yang lain cukup dengan ping-Sut aja.
Gambaran masa kecil itu tak ubahnya proses penetapan formatur BPL PB HMI yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Para kandidat, melalui pimpinan sidang diminta musyawarah mufakat. Masuk ke dalam ruangan lalu mereka keluar sudah ada yang jadi formatur. Bahkan mide formatur I dan mide formatur II juga ditetapkan.
Lalu apa value yang bisa didapat oleh para peserta Munas? Sementara formatur, Mide formatur I dan Mide Formatur II yang ditetapkan tidak berarti mewakili harapan seluruh peserta?
Bagi penulis, tanpa mengenyampingkan hasil evaluasi pada Pleno II dan Proyeksi pada Pleno III, tidak ada tata nilai yang bisa kita petik dari Munas bulan kemarin. Bahkan mau bawa cerita soal Munas kepada adik-adik, seakan akan malu. Karena prosesnya ugal-ugalan dan tidak sakral.
Analisis Munas BPL HMI di Semarang hingga didesain selesai dengan Musyawarah Mufakat.
Sejak awal dibukanya pendaftaran kandidat Munas, terdapat sekitar enam calon yang secara administrasi dan penilaian kelayakan dari SC sudah terpenuhi. Enam kandidat itu secara personal maupun perwakilan melakukan komunikasi aktif dengan ketua umum BPL Cabang.
Kepada penulis pun yang hanya sebatas tim hore di Munas juga ikut dibujuk dan dirayu. Agar bisa merapat dan menyumbangkan suara di Munas. Hadapannya ya, kemenangan. Komunikasi kandidat yang mengakar rumput ini melahirkan energi bahwa di Munas ada pemilihan.
Tetapi peta Munas tidak berkata begitu. Saat pleno III menjelang pleno IV, informasi sudah bertarung di atas angin. Antar kandidat sepertinya mulai kembali merajut cinta. Akhirnya ada kabar, dua kandidat merapat kepada formatur yang saat itu telah ditetapkan.
Bahkan tidak berselang satu jam, dua kandidat lainnya menyusul merapat. Khawatir ketinggalan kereta. Terjadilah koalisi gemuk. Lima kandidat melawan satu kandidat yang hingga pleno III masih mengaku segar bugar dengan prinsipnya.
Akhirnya, terjadilah pertempuran 5 VS 1. Lima kandidat berkoalisi melawan satu kandidat. Kabarnya, satu kandidat yang berprinsip ini didorong oleh banyak cabang agar menuntaskan pertempuran sampai akhir. Tanpa melipat.
Pada sisi yang lain, banyaknya peserta utusan cabang yang belum menentukan pilihan. Karena ingin melihat kandidat ideal, berkualitas dan siap menjadi problem solver terkait kekaderan HMI ke depan. Singkatannya agar tidak salah milih.
Banyaknya cabang yang belum menentukan pilihan itu seakan-akan memberi dorongan kepada satu kandidat yang memilih tarung hingga akhir. Bahkan menjadi spirit tambahan untuk meraih kepercayaan terbanyak dari BPL Cabang se-Indonesia.
Hal tersebut juga menjadi ombak bagi kandidat yang saling melipat. Mungkin merasa masih khawatir, akhirnya forum diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. Sederhananya agar tidak terlihat bahwa menjelang pleno III terjadi pelipatan besar.
Akhirnya pada pleno IV para kandidat cukup dimasukkan ke ruangan. Lalu saling mengatakan dukungan. Bukan mendukung dirinya sendiri. Percaya diri atas dirinya sebagai solusi perkaderan ke depan. Tetapi justru melimpahkan kepercayaan kepada kandidat lain. Hasil Musyawarah Mufakat itu, ditetapkanlah Formatur, Mide Formatur I dan Mide Formatur II.
Penulis saat ini adalah mantan ketua umum BPL HMI Cabang di salah satu daerah di Indonesia. Bukan luar negeri. Penulis adalah peserta utusan Munas BPL HMI di Semarang, yang tidak terikat pada ongkos pemberian kandidat. Meski hanya 1000 rupiah. Berangkat hingga pulang tidak bergantung pada ongkos kandidat.
Tidak ada niatan buruk dalam tulisan ini. Ini hanyalah Otokritik atas kontestasi munas BPL HMI ke VII di Semarang. Semoga Otokritik ini menjadi evaluasi dari berbagai evaluasi yang ada.
#Penulis Merupakan Ketua Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Jawa Timur Bidang Media Jurnalistik
0 Komentar