Oleh : M.Rozien Abqoriy*
Seorang ilmuwan fisika teoritis yang dipandang sebagai
ilmuwan terkemuka di abad ke-20, yaitu Albert Einstein. Fisikawan asal Jerman ini
cukup terkenal saat telah berhasil mengembangkan sebuah teori yaitu teori
relativitas.
Kalau di dunia ilmu, terkhusus pendidikan. Konsep-konsep dalam pendidikan cukup banyak, diantaranya konsep transmisi (pemindahan) budaya, memilih dan mengajarkan peranan sosial, menjamin integrasi sosial, mempelajari corak kepribadian, memegang konsep sumber inovasi sosial.
Salah satu konsep dasar pendidikan yang tak kalah pentingnya adalah bertanya. Bertanya menjadi keharusan yang mesti tetap dilestarikan, tanpa harus mengenal usia. Dengan
mengejar dan mempertanyakan segala sesuatu yang muncul, kemudian terus mengejar
jawabannya.
Fitrah manusia adalah rasa ingin tau. Kalau menurut saya fitrah
tersebut adalah modal awal manusia atas segala sesuatu,
yang memungkinkan dapat bermanfaat pada diri
sendiri dan orang lain, termasuk bagi insan-insan ilmuwan. Karena semua ilmuwan
itu mengawali analisisnya dengan mengumpulkan banyaknya pertanyaan-pertanyaan. Apalagi pelajar hingga mahasiswa yang berada dibawah perguruan tinggi, terbiasa menganalisis sebuah fenomena ataupun sebuah
permasalahan, meski masalah itu sering bisa kita jumpai di lingkungan
terdekat.
Einstein menyatakan, bahwa mereka yang dapat menikmati adalah mereka
yang mengalami. Artinya mereka yang memiliki pengalaman terlebih dahulu, akan
lebih mudah untuk menikmati dan lebih siap untuk menerima pengalaman-pengalaman
baru selanjutnya.
Syaratnya untuk masuk ke dunia ilmu adalah intelegensi. Intelegensi adalah kemampuan mental yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek kognitif. Kalau misalkan kita merasa malu kepada orang yang bajunya compang -camping atau jelek, padahal itu masih sebatas apa yang terlintas secara kasat mata, dan dibalik itu kita belum mengetahui alasan-alasannya kenapa. Harusnya kita lebih malu kalau isi atau kualitas ide, gagasan dan tindakan kita, itu lebih buruk daripada bungkus ataupun covernya.
Dari Nasihat Einstein, kita belajar untuk berhati-hati, agar
tidak menjadikan intelek kita sebagai Tuhan. Tentu saja, ia mempunyai kekuatan,
namun tidak punya kepribadian atau karakter yang semuanya baik. Kalau alat intelek kita sudah bagus, maka yang
mesti lebih bagus lagi adalah kepribadian. Percuma bagus intelek tapi
kepribadian rusak, maka sama saja mengundang bahaya.
Pengetahuan dan ilmu akan melahirkan kerusakan, kalau
kepribadian tidak ikut diperhatikan (jangan sampai rusak). Batin atau intelek itu
dibungkus oleh kepribadian. Seperti halnya suka mencuri, padahal pintar, dan beberapa jenis-jenis kepribadian yang lainnya.
Fahruddin faiz, salah satu dosen filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pernah mengatakan, bahwa nilai dari pendidikan
itu bukan perihal ia yang mengoleksi banyak fakta. Tapi melatih akal untuk
senantiasa berfikir refletif. Bukan mengumpulkan banyak data, tapi latihlah
untuk terbiasa bisa berfikir. Hal itu
tidak hanya bisa didapatkan didalam sekolah, tapi juga sangat bisa di dalam
kehidupannya sehati-hari.
Hal itu secara implisit memberikan pelajaran penting, bagi
kita yang tengah berpendidikan di lembaga-lembaga formal maupun tidak, bahwa
sejatinya nilai-nilai kebijaksanaan menjadi bagian utama dari tujuan
pendidikan. Meski bijaksana bukan saja lahir dari sekolah, namun melalaui upaya
sepanjang hayat untuk menemukannya.
Kata Einstein, rumusan dalam belajar yaitu, anggaplah bahwa belajar itu sebagai anugerah. Jangan pernah menganggap belajar itu sebagai suatu tugas atau bahkan tanggung jawab yang berat. Tapi sebagai suatu kesempatan untuk mengatahui suatu pembebasan yang indah dalam jiwa.
Sebagaimana adagium tentang pendidikan, ialah apapun
yang diterima sebagai pelajaran, maka terimalah sebagai anugerah bukan sebagai tugas. Oleh karena itu, niscaya
kerumitan dan keberatan, sedikit banyaknya akan terpinggirkan.
0 Komentar