Sistematika Penjeratan Hukuman Bagi Pembuat Berita Hoax Dalam Perspektif Hukum Pidana Pers

(Dok:Istimewa


 Oleh : Moch Nur Ihsan*


JejakMediaInsanCita - Pengertian tindak pidana menurut Prof. Moeljatno, tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana larangan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. 

Kemudian, istilah lain berita palsu, fake news dalam istilah yang digunakan masyarakat Indonesia adalah kata hoaks. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana yang kami akses melalui laman Badan 

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia (RI) berarti berita bohong. Istilah hoaks tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Tetapi ada beberapa peraturan yang mengatur mengenai berita hoax atau berita palsu ini. Berikut penjelasannya.

Pertama, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana yang telah diubah oleh UU 19 tahun 2016 (UU 19/2016) mengatur mengenai penyebaran berita bohong di media elektronik (termasuk sosial media), menyatakan “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.

Jika melanggar ketentuan Pasal 28 UU ITE ini dapat dikenakan sanksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar".

Sistem pertanggungjawaban pidana di bidang pers yang menyebarkan berita bohong atau hoax belum jelas adanya, walaupun sudah mempunyai undang-undang tersendiri, namun dalam pelaksanaannya selalu kembali kepada sistem lama, yakni sistem pidana penyertaan yang diatur dalam KUHP. 

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia menganut sistem pertanggungjawaban penyertaan. Artinya, tindak pidana itu dilakukan oleh sejumlah orang. Ada pelaku utama, pelaku pembantu, dan ada pelaku peserta atau turut serta.

Pertanggungjawaban pidana terhadap penyebaran berita bohong dimuat sesuai ketetapan Pasal 45 ayat (3), dan Pasal 45A ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Seseorang yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana penyebar berita bohong (hoax), harus memenuhi unsur-unsur seperti yang disebutkan di atas, serta pelaku penyebaran berita bohong (hoax) dari awal mempunyai niat untuk menambahkan, menyebarkan, membuat, mengurangi, dan membuat kerugian untuk pihak-pihak yang bersangkutan, yang mana dapat dikatakan sebagai perbuatan 40 pidana. 

Namun, atas perbuatan melawan hukum, tindakan tersebut harus berdasarkan atas kesalahan batin si pelaku, sehingga melakukan perbuatan tercela, merugikan orang ataupun masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa orang yang dapat dikenai hukuman adalah orang yang benar-benar melakukan dan juga menyebarkannya sendiri, serta harus memenuhi beberapa unsur yang ada dan juga kembali kepada peristiwa hukumnya. 

Jadi dapat dikatakan bahwa, orang yang dapat dikenai hukuman adalah orang yang benar-benar melakukan sendiri dan menyebarkannya.Permasalahan yang muncul adalah bagi para pembuat berita atau wartawan yang membuat berita palsu pada lembaga pers, belum diatur secara tegas pertanggungjawaban pidananya. Sebab para pembuat berita atau wartawan, selain mereka berlindung di balik lembaga pers yang pertanggung jawabannya di pimpinan redaksi, mereka juga berlindung pada dewan pers yang apabila salah satu dari mereka membuat berita bohong, harus melalui mekanisme Dewan pers. 

Sehingga, proses penegakan hukum terhadap pembuat berita bohong belum maksimal. Sebab sistem pertanggungjawaban pidananya belum begitu secara rinci, mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebaran berita bohong atau hoax. Pihak pengadilan dan kepolisian harus benar-benar serius dan teliti dalam menangani kasus tersebut, karena kasus ciber crime ini sangat dan pasti berkaitan dengan teknologi. Terhadap perkara yang masuk kepengadilan terlebih dahulu diselidiki oleh kepolisian.

Dalam hal ini, penyidik akan terlebih dahulu yang melakukan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik, untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, menurut cara yang diatur dalam undang undang.


#Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura. 


Posting Komentar

0 Komentar