Oleh: Romli MD*
JEJAKMEDIAINSANCITA - Mufassir dalam menafsirkan kitab suci didasari pada kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-qur’an.
suatu penafsiran rasional dan peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks kitab suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya. Dengan demikian, ada upaya serius untuk menjadikan ajaran islam sebagai nilai-nilai yang benar-benar viable (dapat hidup, aktif, berjalan) dalam kehidupan.
Al-qur’an dengan karakteristik universalitasnya selalu sesuai dengan lingkungan kultural apapun, sebagaimana pada saat turunnya. Hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karena itu, al-Qur’an harus selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, di mana dan kapan saja.
Melalui pendekatan seperti itu, tokoh mufassir mestinya tidak sekedar menggarap tema-tema besar dan kosong yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan kongkrit.
Seorang tokoh seperti Cak Nur sangat mengapresiasi mendalam terhadap tradisi islam klasik, seperti fiqh dan syari’at dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqh dalam perkembangan zaman. Dia berupaya dengan sekuat tenaga menyelami warisan intelektual islam (turast) dalam rangka meraba-raba untuk menemukan nila-nilai agama yang mampu memberikan solusi kepada umat manusia dalam hidup mereka. Sehingga agama dengan segala komponennya dapat berinteraksiaktif dengan kehidupan manusia. Itulah yang disebut pembaharuan dalam islam.
Makna pembaharuan dalam pemikiran islam adalah upaya yang dilakukan oleh tokoh-tokoh untuk mendudukkan dan memposisikan serta meletakkan islam sebagai nilai-nilai dan ajaran yang harus selalu dikontekstualisasikan kedalam realitas sosial yang terus berkembang dan berlangsung.
Dengan demikian, agama sebagai system nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah dapat bertemu secara dialogis dengan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Ketika agama direspon dan diletakkan oleh manusia sebagai system nilai, maka ummat beragama tidak lagi mengorbankan integrasi sosial. Sebab mereka tidak lagi terlalu memprioritaskan pandangannya terhadap institusionalisasi agama itu sendiri.
Mereka melihat realitas sosial secara objektif melalui nilai-nilai universalitas agama itu sendiri. Sehingga, agama hadir kepermukaan dengan bentuk yang sangat manusiawi dan membawa spirit sosialisi pemecahan, sesuai dengan realitas yang berkembang dengan tetap berbijak pada nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah nabi yang hidup.
Bentuk apresiasi terhadap warisan intelektual islam (turast) adalah dengan cara melakukan pembacaan ulang terhadapnya, dalam rangka berupaya menemukan nilai-nilai yang ideal didalamnya. Sebab, turast itu tentunya berisi banyak hal yang islami, yang tidak islami dan yang berada di garis batas antara keduanya. Tentunya yang tidak islami berupa wacana yang nilainya tidak mampu mengulurkan solusi terhadap problema masyarakat masa kini. Sementara yang islami berupa hasil ijtihad yang berisi gagasan yang menggenggam nilai-nilai yang tentunya berpotensi memberikan jalan keluar bagi umat di era ini. Di antara kuduanya adalah dilema.
Hal itu penting untuk dilakukan dalam rangka mengetahui sejauh mana tradisi itu benar-benar mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an. Dan tentunya pula, sejauh mana tradisi yang ada, kurang berpijak pada al-Qur’an, sehingga perlu dibuang. Karena islam mengajarkan agar meninggalkan apapun yang tidak bernilai guna dalam kehidupan.
Signifakasi dari pembacaan ulang itu juga adalah karena tradisi muslim dalam realitasnya lahir dari zaman, tempat dan kondisi tertentu yang terus mengalami perkembangan atau perubahan.
Agar tradisi tersebut menunjukkan sikap dinamisnya dan mampu berdialog dengan perubahan zaman, telaah, kajian kritis dan sistematis terhadap hal tersebut mutlak diperlukan dalam satu kerangka yang tetap berpijak pada nilai-nilai al-Qur’an dan Hadist. Berkaitan dengan hal di atas, kiranya perlu mengulas tentang neo-modernisme.
Pengertian neo-modernisme adalah suatu modernisme islam plus metodologi yang mantap dan benar untuk memahami al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam perspektis sosio-historis. Oleh karena itu, aliran ini menekankan perlunya menerapkan kembali prinsip dan nilai-nilai islam kedalam lingkungan sosial yang baru, melalui reformulasi metodologi dan konsep.
Dengan begitu, aliran ini tetap otentik sebagai aliran islam yang membawa liberalisme islam, sebagaimana sikap komitmen Fazlur Rahman. Dia mendoromg ummat islam agar mampu memahami al-Qur’an secara utuh. Termasuk misalnya persoalan teologi bukan hanya dipahami melalui kajian yang tidak berpijak pada realitas kehidupan, melainkan bersifat praksis.
Tokoh lain, seperti Amin Abdullah melihat bahwa tantangan teologi islam dewasa ini terletak pada isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme agama, kemiskinan struktural, kerusakan lingkungan dan sebagainya. Oleh karena itu, teologi islam harus merupakan disiplin yang mampu berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang sedang berkembang saat ini.
Sekiranya teologi ini memberikan pengertian sebagai interpretasi realitas berdasarkan perspektif ketuhanan. Pandangan teologi parsial yang terdapat dalam aliran teologi islam dianggap oleh Fazlur Rahman kurang Qur’ani dan tidak mampu memberikan landasan praksis bagi kehidupan ummat islam, sehingga perlu direformasi dan dikembangkan lebih lanjut.
Jadi teologi baginya, harus bersifat applicable untuk kemudian mampu menjadi nafas kehidupan umat manusia. Untuk menemukan pembahasan teologi Rahman yang sifatnya utuh dan komprehensif, penulis menyarankan membaca bukunya Taufiq Adna Amal, dengan judul “ Islam dan tantangan modernitas; studi atas pemikiran hukum Fazlur Rahman”, yang merupakan berasal dari skripsi S1-nya di UIN Suka.
Dalam hal ini Rahman menawarkan teologi liberal dengan nuansa Qur’ani yang lebih bersifat aksi yang mampu dengan tepat mendefinisikan hubungan manusia dengan tuhan. karya ini bersifat komparatif dan hermineotik. Di lain sisi, untuk meraih objektifitas hasil kajian ulang al-Qur’an maupun turast, syaratnya adalah harus dilakukan interpretasi historis.
Pencapaian syarat ini memerlukan terhadap penguasaan pengetahuan tentang personalitas pengarang dan juga perlu mengupayakan merujuk pada peristiwa dan iklim budaya, dimana pengarang itu hidup.
Bagi al-Dihlawi, agama islam yang dibawa Nabi Muhammad merupakan agama yang dinamis, yang menuntut untuk dipahami sesuai dengan konteks zamannya. Sebab prinsipnya islam senantiasa relevan dengan konteks waktu dan tempat. Orientasi seluruh umat Islam tentunya adalah kemajuan. Sementara Islam adalah kemajuan itu sendiri. Sehingga tidak akan ditemukan nilai maupun ajaran islam yang menghambat kemajuan, apalagi bertentangan. Sebab hidup ini bukan untuk direnungi, namun dijalani dengan semangat dan serius.
Sehingga Iqbal membedakan antara barat dan timur. Barat adalah materialistic dan tidak religious. Sedangkan Timur, khususnya islam, meskipun merepresentasikan cinta dan kehidupan yang spritualistis, namun tidak memiki pengetahuan atau kekuasaan dan tanpa semangat yang kreatif. Oleh karena itu, sejarah merupakan perjuangan yang terus menerus antara islam dan jahiliyyah.
Ijtihad dapat dilakukan oleh siapa saja yang berkompeten, baik pekerjaannya bersifat keagamaan atau tidak. Ijtihad bukanlah prerogative kelas tertentu. Intinya syariah itu sebagai sumber nilai yang harus diyakini. Fazlur rahman berupaya menggabungkan islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan islam dalam realitas sejarah yang terlalu jauh melebar jaraknya.
Ijtihad itu memunculkan buah panduan pengaplikasian dari gagasan. Namun gagasan tidak akan survival tanpa adanya kebebasan. Islam harus diangkat sebagai islam itu sendiri yang dari awalnya sudah mengandung nilai-nilai yang universal, tanpa harus terperangkap dengan formalisme yang kering.
Islam harus dilihat dari esensi dan nilai yang dikandung, dan bukan dari tataran formal-simbolik belaka. Islam formalistik hanya akan membuat umat islam terperangkat dalam slogan kosong. Islam formalistik hanya menjadikan al-Qur’an sebagai jimat bagi pemeluknya.
Fazlur Rahman menjelaskan hadist sebagai pembicaraan umat muslim yang dilakukan atau disabdakan Nabi pada mulanya bersifat informal. Al-Qur’an dan kehidupan Nabi harus dipandang sebagai norma dan nilai-nilai yang dinamis. Sedang penafsiran sahabat dan generasi berikutnya terhadap sumber itu, hendaknya dipandang sebagai suatu pemahaman yang tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan yang berkembang saat itu.
Muslim yang progresif mampu mendudukkan islam sebagai agama yang hidup dengan cara mengerahkan kemampuannya untuk membedakan antara yang normatif dan historis. Kemampuan membedakan itu, perlu diperjuangkan sepanjang zaman, agar islam bukan hanya panduan mati yang nuansanya ingin mengembalikan umat islam ke era awal yang jelas-jelas sudah berlalu. Sebuah angan-angan kosong bagi umat islam yang mewartakan, ingin mengembalikan kepada keaslian islam yang pernah dilakukan oleh baginda rasul dan segenap sahabatnya.
Sebab masa itu sudah tak tersentuh lagi bentuk nyatanya oleh umat belakangan. Fazlur Rahman adalah seorang rasionalis yang dengan itu, ia memberikan dukungan kepada aliran-aliran dalam islam yang memberikan keunggulan kepada akal. Oleh karena itu, mestinya islam mampu memecahkan problem-problem yang dihadapi umat islam dan manusia secara umum. Bukan kemudian merubah pola hidup yang sejatinya sudah islami.
Islam adalah salah satu agama yang menganggap dan memandang masyarakat secara serius. Dalam sejarah dan masyarakat, islam berkembang terus mewarnai kehidupan dunia. Oleh karena itu, kata fazlur rohman, rekonstruksi-lah yang harus selalu dilakukan dalam rangka menyikapi perkembangan dan perubahan kehidupan sosial yang terus terjadi.
Rahman menggunakan rasio yang dicerahkan oleh wahyu, sementara Habermas dalam metodenya menerapkan kritisme rasio oleh rasio. Oleh karena itu, sangat perlu dikenali sebuah teori historisisme (islami) yang mengandung pengertian pandangan yang menyatakan kebenaran-kebenaran dasar pada suatu masyarakat harus diformulasikan kembali untuk menghadapi lingkungan yang baru.
Historisisme Rahman menampilkan tiga tahap yang saling berkesinambungan. Pertama, pemahaman terhadap proses sejarah yang dengan itu Islam mengambil bentukanya. Kedua, analsisis terhadap proses tersebut untuk membedakan prinsip-prinsipnya yang esensial dan formasi-formasi umat Islam yang bersifat partikuler sebagai hasil kebutuhan mereka yang bersifat husus. Ketiga, pertimbangan terhadap cara yang terbaik untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip esensial tersebut.
Sederhanya adalah kebebasan kehendak manusia dilawankan dengan kekuasaan tuhan, atau otoritas wahyu dipertentangkan dengan kemampuan akal pikiran manusia. Uraian sebelum ini, menunjukkan bahwa teologi menurut fazlur rohman harus dirumuskan kembali agar mampu berdialog dengan zamannya. Al-qur’an pada dasarnya adalah suatu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi umat manusia. Dan ia, bukan sebuah dokumen hukum yang sifatnya tidak bisa disentuh perubahan meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti salat, puasa, dan haji.
Karena al-qur’an selalu menekankan aspek moral yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia, maka kepentingan sentral al-Qur’an adalah manusia dan perbaikannya. Oleh karena itu, al-qur’an secara substantif dan konstitutif adalah untuk keperluan tindakan manusia di dunia. Secara umum, proses penafsiran yang ditawrkan Rahman mempunyai dua gerakan ganda.
Pertama, dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-qur’an. Kedua, dari masa turunnya al-qur’an kembali ke Masa kini.
Pemahaman adalah kejadian yang bersifat linguistik, dialektika dan historis. Penafsiran selamanya tetap merupakan pemahaman manusia, dan tidak akan pernah menjadi dogma yang tidak boleh diganggu gugat dan dikaji secara kritis.
Apa yang disebut teologi dan doktrin keagamaan tidak pernah lepas dari keterlibatan subjektif. Teologi islam merupakan usaha intelektual yang motifnya penafsiran dan pemahaman. Teologi harus selalu dikaji dan diuji ulang secara kritis di bawah naungan al-Qur’an dan Hadis sekaligus teologi tidak boleh diklaim sebagai sesuatu yang final. Hendaknya teologi menjadi sebuah wacana keilmuan yang terus menerus berkembang dan mampu menyikapi perubahan kehidupan.
Kesimpulan
Telah dipaparkan di muka, bahwa Islam adalah nilai-nilah yang dibungkus dengan al-Qur’an. Islam senantiasa terbuka bagi siapa saja yang berkenan menyelami samudera nilai-nilai itu untuk memperoleh system bertindak di dalam kehidupan.
Islam mendorong umat manusia agar menuai makna mendalam dari al-Qur’an dan mendorong umatnya agar berwawasan luas. Sehingga nantinya menjadi pribadi muslim dan masyarakat muslim yang inklusif tanpa memojokkan orang lain maupun golongan lain. Itulah yang disebut masyarakat ilmiah. Masyarakat yang pola hidupnya berprinsip ilmu pengetahuan yang berasal dari nilai-nilai islam.
Islam bukan hanya tentang apakah mendapatkan dosa maupun pahala. Masuk surga ataupun masuk neraka. Tapi bagaimana kita mampu mengembangkan masyarakat dalam berpengetahuan dan berperadaban. Sehingga berislam, kita bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk masyarakat sekitar.
Itulah yang menjadi pemicu keharusan rekontruksi pemikiran islam dalam rangka menjadikan Islam sebagai ajaran yang hidup dan menjadi solusi untuk problem kehidupan umat manusia dimasa dan tempatnya masing-masing.
#Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Falsafah dan Agama sekaligus Kader HMI Komisariat Insan Cita Universitas Paramadina Jakarta
0 Komentar