Meluruskan Pemahaman Feminisme; Sejarah, Islam dan Sila Ke-5 Pancasila

Oleh: M. Rozien Abqoriy*

JEJAKMEDIAINSANCITA - Pembahasan yang tidak kalah menarik sampai detik ini adalah tentang feminisme. Dimana  pembahasan terkait ini sudah meluas ke beberapa permukaan bumi, terkhusus dalam dunia Pendidikan yang termasuk di berbagai perguruan tinggi Internasional maupun Nasional. Dalam hal ini tentang feminisme telah masuk kepada kategori atau suatu istilah yang juga tidak lagi asing bagi kita semua, bagi kalangan laki-laki dan terkhusus juga bagi kalangan yang menjadi promotor dari istilah feminisme yaitu kaum hawa atau perempuan. 

Sebelum membahas lebih jauh, alangkah indahnya juga kita perlu mengenali kembali, sebagai wawasan dan pengikat pengetahuan kita tentang feminisme. Feminisme sering kita artikan sebagai suatu gerakan perempuan yang menuntut persamaan, persamaan antara perempuan dan laki-laki atau Feminisme pun dianggap sebagai ideologi atau sebuah paham yang menyatakan persamaan hak antara pria dengan wanita. Secara bahasa feminisme berasal dari bahasa latin yaitu dari kata “femina” yang artinya memiliki sifat keperempuanan. Feminisme sering juga diartikan sebagai gerakan emansipasi wanita yang menyuarakan tentang perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara wanita dengan pria.

Dipandang lagi dalam historisnya yang saya temukan dalam situs web yang Bernama Dosen Pendidikan, yang memberikan keterangan terkait sejarah singkat dan kelahiran feminisme. Bermula dari gerakan yang berkembang pada abad 15-18 M di Eropa. Pergerakan paling awal yang ditemukan ialah oleh Christine de Pizan yang menulis tentang ketidakadilan yang dialami perempuan. Kemudian pada abad ke 18 pergerakan yang cukup signifikan mulai tumbuh. Dua tokoh utama pergerakan ini adalah Susan dan Elizabeth. Mereka ketika itu telah berhasil memperjuangkan dalam hal politik, yaitu hak untuk memilih bagi perempuan. Kemudian memasuki abad ke 19 dengan dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condoracet, gerakan ini terus berkembang hingga sampai ke negara-negara penjajahan Eropa, secara bersamaan, gerakan mereka disebut sebagai “Universal Sisterhood”. Dalam perkembangannya ada tiga gelombang pergerakan feminisme yaitu:

1. Suara Perempuan 

Sering disebut dengan gelombang suara perempuan pertama oleh aktivis sosialis Charles Fourier tahun 1837. Pada gelombang ini pergerakan yang awalnya berpusat di Eropa pindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak adanya publikasi buku berjudul “The Subjection Of Women” “1869” karya Joh Stuart Mill. Seiring dengan pemberantasan praktek perbudakan hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan.

2. Hak suara Perempuan Dalam Hak Suara Parlemen

Ditandai dengan lahirnya negara-negara baru setelah mereka terbebas dari penjajahan bangsa Eropa, gerakan feminisme mencapai puncaknya. Mereka mulai menyuarakan hak suara perempuan dalam hak suara parlemen “pihak yang ikut menjalankan sistem pemerintahan”. Tujuan utama gerakan feminisme kedua ialah untuk menuntuk kebebasan bagi wanita yang sering dipandang rendah dan diperlakukan dengan tidak layak.

3. Posisi Dalam Sistem Pemerintahan Negara

Mereka beranggapan bahwa bidang politik merupakan tempat yang harus memiliki perwakilannya agar hak-hak wanita dapat terus dijaga. Hingga sekarang, feminisme masih ada dan aktif dalam mengakampanyekan berbagai isu sosial.

Dilihat Kembali dalam sisi Agama tentang feminisme, khususnya agama Islam juga ikut memiliki historis yang tak kalah menarik yang telah berhasil saya temukan dalam sebuah artikel yang berjudul “Feminisme Dalam Islam” yang ditulis oleh Firdaus Habibu Rahman. Dalam artikel tersebut dituliskan tentang sebuah ungkapan bahwa ternyata feminisme itu tidak hanya lahir dari Barat. Begitupun tentang pembebasan perempuan tidak hanya spesifik milik sejarah Barat. Melainkan spirit kesetaraan diperjuangkan dengan cara berbeda di banyak tempat. Spirit yang sama juga bisa ditemukan dalam sejarah Islam. Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dalam sejarah, Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW turun di tengah-tengah masyarakat Jahiliyah yang masih menganggap perempuan sebagai aib dan memposisikannya selayaknya benda.

Masyarakat Jahiliyah menerima kehadiran perempuan dengan dua tradisi: Pertama, mereka menguburkan anak perempuannya hidup-hidup sebab menganggapnya sebagai aib. Yang kedua, mereka tetap membesarkan anak perempuan itu, namun diperlakukan dengan tidak adil dan diposisikan selayaknya harta benda. Seorang istri pada zaman itu adalah harta warisan yang diturunkan kepada anak laki-lakinya ketika suaminya meninggal. Anak laki-laki itu mempunyai hak penuh atas ibu mereka. Ummar bin Khattab salah satu Amirul Mukminin atau Pemimpin orang-orang beriman, yang juga mengalami masa pra Islam, menggambarkan perubahan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Nabi pernah berkata: “Pada masa jahiliyah, wanita itu tak ada harganya bagi kami. Sampai akhirnya Islam datang dan menyatakan bahwa wanita itu sederajat dengan laki-laki.”

Dari sejarah ini tidak sulit menyimpulkan bahwa Islam sejatinya adalah agama yang menjunjung kesetaraan laki-laki dan perempuan. Islam tidak membedakan kedudukan manusia berdasarkan jenis kelamin. Dalam satu ayatnya Allah SWT berfirman: 

ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْØ¥ِÙ†ْسَ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُونِ

”Dan, tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz-Dzaariyat: 56). Ayat ini menegaskan bahwa yang utama adalah fungsi dan tugas seorang manusia dalam beribadah. Bukan dengan jenis kelamin apa mereka terlahir.

Feminis Muslim

DI Indonesia kita mengenal Alimatul Qibtiyah sebagai tokoh feminis muslim dan guru besar di bidang Ilmu Kajian Gender, Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saat ini ia juga menjabat sebagai komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024. Dengan salah satu karya tulisnya yang berjudul “Feminisme Muslim di Indonesia” pada 2019. Alimatul Qibtiyah mengungkapkan bahwa semangat mendiskreditkan peran perempuan dipupuk oleh semangat pemahaman agama yang konservatif dan textual yang menempatkan status perempuan sebagai makhluk jenis kelamin kedua. Menurut Alimatul Qibtiyah hadirnya feminis muslim adalah untuk menggugat semangat konservatif atau memberikan hermeneutis terhadap sesuatu yang menyimbolkan tubuh perempuan dengan kesucian, kesuburan, pemuas sehingga disebut sebagai sumber malapetaka.  Kemudian juga yang tidak sejalan dengan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang menempatkan perempuan setara dengan laki-laki.

Hal ini juga berkesinambungan dengan sila ke-5 Pancasila (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia). Sebuah artikel yang sempat ditulis oleh Dian Agustine yang berjudul “Feminisme Dalam Sila Ke-5 Pancasila, Apakah Bisa di Terapkan?”. Dalam tulisan tersebut berusaha untuk menjelaskan tentang feminisme dan mempertanyakan sesuatu yang sudah terkesan disalah artikan oleh beberapa oknum. Disebutkan disana tentang apakah feminisme selalu tentang perempuan? Pada awal kemunculannya, ya. Feminisme digunakan sebagai nama untuk sebuah gerakan sosial yang mengusung tentang hak-hak perempuan di Seneca Falls, New York, pada tahun 1848 oleh Elizabeth Cady Stanton dan temannya Susan B. Anthony. Mereka adalah dua oang pertama yang direkam sejarah melakukan pengorganisasian gerakan sosial perempuan di abad ke-19. Disebutkan juga bahwa Perempuan dalam feminisme hanya menginginkan kesetaraan, bukan berarti perempuan feminisme membenci lelaki, ingin menjadi kepala keluarga, tidak mau memiliki anak atau lain sebagainya. Namun dalam feminisme yang dimaksudkan adalah seperti dalam Pendidikan, yang sudah di perjuangkan oleh seseorang wanita hebat yang biasa di sebut Ibu kita Kartni tentang pendidikan yang sama layaknya. Lalu bagaimana dengan profesi didalam jenjang pekerjaan, jabatan dalam pemerintahan yang masih menganggap sepele perempuan didalam memimpin? 

Kalau perbedaan adalah rahmat, kenapa Anda ingin disamakan dengan laki-laki?" Kalimat tersebut adalah salah satu komentar yang banyak kita temui saat menggugat konsep kesetaraan gender. Memperjuangkan kesetaraan gender bukan berarti menuntut perempuan untuk menjadi sama dengan lelaki, tetapi mendukung perempuan dan lelaki agar mendapat kesempatan yang sama dalam posisi yang sejajar. Kemudian bukan juga dengan usaha agar perempuan jadi sama dengan lelaki, bukan taktik supaya perempuan terlepas dari agama, bukan menuntut laki-laki jadi bawahan perempuan juga bukan pula ajaran "Barat" karena spiritnya selaras dengan banyak ajaran dan agama yang mengedepankan keadilan. Dan juga yang sering dijadikan dasar menggugat feminisme adalah pemahaman keliru tentang kodrat bahwa feminisme membuat perempuan lupa akan kodratnya. Dijelaskan juga bahwa semua elemen masyarakat terkhususnya di Indonesia, mempunyai tanggung jawab yang sama dalam menerapkan sila ke-5 Pancasila. Karena penentu berhasil atau tidaknya sebuah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tidak terletak hanya pada laki-laki, melainkan juga perempuan.

Lalu apakah hari ini tentang justifikasi dari perempuan yang dipandang rendah dan diperlakukan tidak layak ataupun tidak adanya ruang baginya dalam segala sektor yang dituntut oleh kaum perempuan sejak dulu dengan istilah feminism sudah terpenuhi atau masih menjadi suatu pertentangan, dan sudahkah memahami sejauh ini dengan peran dan tanggung jawabnya dalam konsep kesetaraannya ? 

Cukup sekian dulu diskusi kita kali ini tentang feminisme, harapan besar dari tulisan yang masih penuh dengan keterbatasan dapat menjadi pengetahuan yang bermanfaat dan pemerhatian kembali, terkhusus bagi saya dan temen-temen pembaca.


*Penulis Merupakan Kader HMI Komisariat Insan Cita IAIN Madura

Posting Komentar

0 Komentar