![]() |
Oleh: M. Rozien Abqoriy* |
Pemerintah dan DPRD masih dengan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), dimana pembahasan ini masih terbilang cukup alot, karena pasalnya dari 600 pasal yang termuat, terdiri dari 14 Pasal yang Masih dinilai sebagai isu krusial dan kontroversial.
Pada bulan mei lalu, Wakil Menteri Hukum dan HAM menargetkan RUU KUHP bisa diselesaikan dan dilegitimasikan pada bulan juli mendatang
Adapun salah satu Pasal yang termasuk kontroversial ialah pada Pasal 218 yaitu tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Dalam Pasal ini tidak disebutkan kata-kata penghinaan, tapi lagi-lagi apa yang disebut penyerangan harkat dan martabat presiden? Sejatinya presiden dan wakil presiden ini adalah lembaga dan bukan orang. Semisal manusia itu memiliki martabat, kalau presiden punya kewajiban yaitu kepada masyarakat. Ketika rakyat itu berbicara kepadanya (presiden dan wakil presiden) itu tidak termasuk menyerang harkat martabatnya. Misalnya saja, seperti menyampaikan suatu hal "Pak presiden menurut kami, peraturan yang bapak berikan itu tidak pro terhadap rakyat" nah ini bukan menyerang, namun menjadi hak demokratis yang memang perlu untuk disampaikan, sehingga dapat menjadi bahan untuk difikirkan kembali.
Jadi kalimat yang di UU RKUHP ini Masih terkesan multitafsir dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk Membungkam kritik dan mempidanakan para aktivis yang menyuarakan aspirasi melalui kritiknya, baik itu melalui Aksi demonstrasi maupun melalui Sarana tekhnologi Informasi seperti media sosial.
Hal tersebut juga terdapat dalam Pasal 273 tentang Pidana bagi demonstran yang tidak melakukan pemberitahuan dan menimbulkan keoranaran dan Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan terhadap kekuasaan Umum dan lembaga.
Beberapa Pasal tersebut jelas tidak sejalan dengan semangat Demokrasi, reformasi yang telah dibangun Negara Indonesia, karena dapat memastikan Budaya Demokrasi serta persatuan kesatuan bangsa.
Nah, dalam informasi ini termasuk juga dalam beberapa media yang sudah menyampaikan dan menimbulkan reaksi ataupun dorongan terhadap setiap individu. Jadi dalam teori model rangsangan dan reaksi (Stimulus-response model) oleh Melvin Defleur (1975) yang menyatakan bahwa media menyajikan rangsangan atau stimuli perkasa yang diperhatikan secara seragam oleh massa. Rangsangan atau stimuli ini kemudian membangkitkan berbagai proses lain yang hampir tidak dapat dikendalikan oleh individu. Tanggapan atau respon yang sama diberikan oleh setiap anggota khalayak pada rangsangan atau stimuli yang datang dari media massa. Teori stimuli response ini menjadi acuan atau dasar bagi teori peluru atau teori jarum hipotermis.
Semoga melalui tulisan ini, saya mendapatkan apa yang menjadi maksud dan tujuan dari RKUHP yang sedang dijalani oleh pemerintah dan akan menjadi acuan dan pedoman hukum-hukum Pidana yang ada di Indonesia, sehingga untuk menentukan Hukum disesuaikan dengan keadaan dan tidak ada yang namanya ketimpangan.
*Penulis Merupakan Kader HMI Komisariat Insan Cita
0 Komentar