Ramadhan Boost: Upgrade Iman, Ilmu, dan Amal

Oleh: Moh. Syurul

Ramadhan, bulan penuh rahmat, kini telah mencapai fase akhir. Jika diibaratkan seperti perjalanan seorang musafir, kita telah melintasi padang pasir ujian dengan harapan menemukan banyak keberkahan. Namun, pertanyaannya, apakah perjalanan ini hanya sekadar rutinitas tahunan, atau benar-benar menjadi ajang upgrade bagi iman, ilmu, dan amal kita?


Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan momentum untuk memperdalam makna ketakwaan kepada Allah SWT. Ibadah-ibadah yang kita lakukan, mulai dari shalat, tilawah Al-Qur'an, hingga ibadah lainnya, seharusnya menjadi bahan bakar untuk memperkuat hubungan dengan-Nya.


Sayangnya, banyak yang terjebak dalam euforia seremonial Ramadhan. Masjid penuh di awal bulan, tetapi di sepuluh hari terakhir, banyak yang justru lebih menyibukkan dengan urusan duniawi. Ini menunjukkan bahwa bagi sebagian orang, iman belum benar-benar upgraded, hanya sekadar naik turun tergantung momen. Padahal, dalam riwayat Anas bin Malik, Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ 

"Sungguh dinamakan Ramadhan karena ia membakar dosa-dosa" (Asy-Saukani, Fath al-Qadîr,).


Maka, Ramadhan sejatinya harus melahirkan pribadi yang lebih istiqamah dalam ibadah, bukan hanya insidental. Nabi saw. mengingatkan bahwa ternyata ada orang-orang yang justru merugi manakala Ramadhan tiba dan berlalu.

قَالَ لِي جِبْرِيلُ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ، فَقُلْتُ: آمِينَ

Jibril as. berkata kepada diriku, “Sungguh sangat merugi seseorang yang masuk ke dalam bulan Ramadhan, lalu tidak diampuni dosanya.” Aku pun mengucapkan: Aamiin (HR al-Bukhari).


Di era digital, informasi tentang Islam sangat mudah diakses. Kajian-kajian online menjamur, kutipan ulama tersebar di media sosial, bahkan AI pun bisa menjawab pertanyaan keislaman dalam hitungan detik. Tapi apakah ini cukup untuk upgrade ilmu kita?


Akan tetapi, meski ilmu Islam semakin mudah diakses, pemahaman mendalam justru semakin langka. Banyak yang hanya mengandalkan quotes tanpa memahami konteksnya. Kajian lebih banyak dikonsumsi sebagai hiburan, bukan bahan refleksi yang membentuk pola pikir Islami.


Ramadhan seharusnya menjadi momen untuk memperdalam ilmu, bukan sekadar menambah koleksi video ceramah di galeri ponsel. Kita harus berani melangkah dari sekadar "tahu" menjadi "paham," dan dari sekadar "paham" menjadi "mengamalkan."


Satu hal yang menarik di bulan Ramadhan adalah meningkatnya semangat berbagi. Dari gerakan sedekah, berbagi takjil, dan lainnya, semuanya menunjukkan betapa umat Islam memiliki kepedulian sosial yang tinggi.


Namun, apakah semangat ini berlanjut setelah bulan Ramadhan? Atau jangan-jangan, begitu Ramadhan berlalu, kepekaan sosial kita pun ikut memudar?


Islam mengajarkan bahwa amal bukanlah sekadar momen, tetapi harus menjadi karakter. Jika Ramadhan mampu menggerakkan kita untuk berbagi, maka setelahnya, semangat ini harus terus hidup. Jangan sampai amal kita hanya sebatas seasonal charity tanpa dampak berkelanjutan.


Maka dari itu, sebagaimana aplikasi yang perlu diperbarui untuk meningkatkan performa, iman, ilmu, dan amal kita pun perlu terus di-upgrade. Ramadhan bukan titik akhir, melainkan titik awal bagi peningkatan kualitas diri.


Maka, mari bertanya pada diri sendiri, apakah Ramadhan ini benar-benar membawa perubahan, atau hanya menjadi rutinitas yang berlalu tanpa bekas?


Jika kita serius ingin menjadikan Ramadhan sebagai momentum upgrade, maka jangan berhenti hanya pada ritual, tapi pastikan ada transformasi dalam iman, ilmu, dan amal kita. Sehingga, setelah bulan ini berlalu, kita tetap menjadi pribadi yang lebih baik, lebih berilmu, dan lebih bermanfaat bagi sesama.

Wallahu a’lam.

#Penulis Merupakan Kader HMI Komisariat Insan Cita Sekaligus Mahasiswa IAIN Madura. 


Posting Komentar

0 Komentar