Oleh : Moh. Syurul*
Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, kita dihadapkan pada fenomena paradoksal, teknologi yang seharusnya mempermudah seseorang untuk berbagi kebaikan justru sering digunakan untuk menonjolkan sisi lainnya.
Era digital telah membawa perubahan besar dalam perilaku diberbagai kalangan. Dalam upaya mencari perhatian dan popularitas, sebagian orang rela mengorbankan moral dan nilai-nilai untuk menjadi viral.
Fenomena ini mengungkapkan gejala yang lebih dalam tentang krisis identitas dan pencarian makna di tengah kehidupan yang semakin terdigitalisasi. Salah satu manifestasi terburuk dari hal ini adalah maraknya perilaku demi viral sehingga mengorbankan moralitasnya.
Media sosial yang semula dirancang sebagai ruang ekspresi dan interaksi, kini berubah menjadi arena pertunjukan ego. Ketergantungan pada validasi sosial media telah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan.
Mereka yang terobsesi dengan menjadi viral sering kali mencari validasi, mengabaikan nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi fondasi dalam interaksi sosial. Hal ini berdampak pada pengorbanan integritas pribadi dan merugikan masyarakat.
Banyak individu berbondong-bondong mencari perhatian dengan cara apa pun, termasuk tindakan kontroversial, merendahkan orang lain, hingga melanggar norma dan hukum. Mereka yang melakukannya sering berdalih 'hanya konten', seolah-olah segala perbuatan di dunia maya tidak memiliki konsekuensi nyata.
Dorongan untuk viral kerap mendorong seseorang untuk menempatkan popularitas di atas moralitas. Dalam masyarakat yang memuja angka like, share, dan views, kita sering lupa bahwa di balik angka-angka itu ada martabat dan tanggung jawab.
kita terlalu fokus pada citra publik daripada pengembangan diri yang autentik. Hal ini semakin diperparah oleh algoritma media sosial yang lebih sering mempromosikan konten kontroversial dibandingkan konten edukatif atau inspiratif.
Fenomena ini bukan hanya persoalan teknologi, akan tetapi cerminan dari krisis nilai dalam masyarakat kita. Kita perlu merenungkan kembali tujuan hidup kita, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas.
Sebagai bangsa dengan akar budaya yang kaya dengan nilai-nilai luhur, sudah seharusnya kita menolak budaya instan yang melunturkan moralitas itu. Masa depan bangsa ini tidak boleh ditentukan oleh viralitas semata, tetapi oleh karakter dan nilai yang kita perjuangkan bersama.
Untuk mengatasi masalah ini, membutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak dengan prioritas pada kesadaran individu sebagai fondasi utama. Hal ini perlu didukung oleh pendidikan literasi digital yang diajarkan sejak dini oleh sekolah dan keluarga, mencakup pemahaman tentang etika bermedia sosial serta dampak sosial dan moral dari konten yang diunggah.
Pengembangan keterampilan hidup yang seimbang juga penting untuk membantu menghadapi tekanan dan mencapai potensi penuh mereka.
Kita perlu mengingat bahwa, dunia digital hanyalah alat, kitalah yang menentukan bagaimana ia digunakan. Jangan sampai kita kehilangan jati diri hanya demi menjadi sorotan sesaat. Kembalikan moral di atas segalanya. Sebab, viral hanya sementara, tetapi dampak moral bersifat selamanya.
#Penulis Merupakan Kader HMI Komisariat Insan Cita Sekaligus Mahasiswa IAIN Madura.
0 Komentar